Instructions

Recomended

Categories

Connect With Us

Blogger Tricks

GetRank - Webmaster and Seo Tools

video motivasi

Koleksi Terbaru Kami
Tampilkan postingan dengan label Kebudayaan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kebudayaan. Tampilkan semua postingan

Upacara Pernikahan - Chio Thau

oleh : David Kwa


Upacara Chio Thau adalah upacara pernikahan tradisional Peranakan lengkap dengan segala pernak-pernik upacara yang menyertainya. Disebut Chio Thau 上頭―artinya ‘mendandani rambut/kepala’ (to dress the hair), bukan ‘naik ke kepala’―karena, dalam bagian terpenting upacara ini, di atas sebuah tetampah besar warna merah terlukis yin-yang 陰陽 dan menghadap sebuah gantang (dou 斗, tempat menakar beras), pengantin (laki-laki dan perempuan) disisiri oleh ibunya sebanyak tiga kali; setiap sisiran dibarengi dengan doa-doa tertentu: misalnya: sisiran pertama agar si pengantin diberi jodoh yang panjang, sisiran kedua: banyak rejekinya, sisiran ketiga: anak-anaknya semua menjadi orang yang membanggakan, dan sebagainya.



Upacara Chio Thau ini berasal dari daerah Fujian Selatan (Minnan) semasa periode dinasti Qing (1644-1911), dan mungkin sudah tidak diketemukan lagi di Tiongkok, setelah terjadinya dua revolusi besar di sana. Revolusi itu Revolusi Xin Hai 辛亥革 1911, yang menyingkirkan semua produk budaya zaman Qing, dan Revolusi Kebudayaan 文化革 1966-1976, yang menghancurkan semua produk budaya yang dinilai feodalistik dan kapitalistik. Di kalangan Peranakan di Indonesia (Tangerang, Padang dan Makassar) dan juga di Malaysia (Melaka, Pulau Pinang)-Singapura, upacara perkawinan tradisional Chio Thau terselamatkan dari kepunahan, karena kaum Peranakan tidak terlalu terpengaruh oleh segala pergolakan politik yang terjadi di Tiongkok, dan hanya memandang upacara pernikahan tradisional Chio Thau sebagai pusaka budaya warisan kakek-moyang mereka yang harus mereka pertahankan mati-matian sebagai identitas budaya mereka. Sedemikian pentingnya Chio Thau dalam pandangan kaum tradisionalis Peranakan, sehingga kaum Peranakan di beberapa daerah tertentu di Tangerang, misalnya, bahkan sampai memandang pernikahan yang tidak disertai Chio Thau bukan pernikahan yang sah, dan anak-anak yang dilahirkan dari pernikahan ini pun bukan anak yang sah!!!


Pakaian yang dikenakan saat Chio Thau―yakni baju putih-celana putih bagi laki-laki dan baju putih-kain batik warna dasar merah bermotif bulat-bulat putih, sehingga dikenal dengan nama Kain Onde―akan disimpan baik-baik dan dikenakan kembali pada waktu yang bersangkutan meninggal kelak sebagai pakaian mati.

Kembang goyang adalah beberapa aksesori rambut semacam tusuk konde terbuat dari perak berwarna keemasan bermotif flora dan fauna yang dianggap membawa keberuntungan. Di bagian tertentu kembang goyang diberi per (pegas) hingga bergoyang-goyang saat si pemakai bergerak. Kembang goyang yang khas Jabotabek ini merupakan bukti alulturasi Tionghoa-non Tionghoa, karena di Tiongkok tidak dikenal; pengantin di sana mengenakan hongknua 鳳冠 (phoenix bonnet) saat menikah.

Sejarah Asal Mula Perayaan Ceng Beng


Tradisi ini berasal dari tradisi kerajaan di zaman dulu. Ceng Beng (baca : Qing Ming = cerah dan cemerlang) dipilih karena 15 hari setelah Chunhun, biasanya dipercayai merupakan hari yang baik, cerah, terkadang diiringi hujan gerimis dan cocok untuk melaksanakan ziarah makam. Sebelum zaman Dinasti Qin, ziarah makam hanya monopoli dan hak para bangsawan. Namun setelah Qin Shi-huang mempersatukan Tiongkok dan mengabolisi para bangsawan, rakyat kecil kemudian meniru tradisi ziarah makam ini setiap Ceng Beng.

Sebuah legenda asal mula Ceng Beng menceritakan tentang kaum Cina yang memang punya tradisi yang sedikit banyak tertuju pada peringatan leluhur (sebutannya “kia hao” atau “filial piety”, alias “rasa hormat anak pada orang tua/leluhurnya”) . Makanya di rumah-rumah Cina banyak ditemukan rumah abu atau meja sembahyang leluhur. Karena itulah, nyekar juga menjadi satu kegiatan wajib. 


Legenda 1

Hari *Ceng Beng* bermuasal dari zaman *Chun Qiu Zhan Guo *(Musim semi-gugur dan negara saling berperang, abad 11-3 SM), adalah salah satu hari perayaan tradisional suku Han (suku mayoritas di Tiongkok), sebagai salah satu dari 24 *Jie Qi *(sistem kalender Tiongkok), waktunya jatuh antara sebelum dan sesudah 5 April Masehi.

Sesudah hari *Ceng Beng*, di Tiongkok semakin banyak hujan, bumi dipenuhi dengan panorama kecemerlangan musim semi. Pada saat itu semua makhluk hidup "melepaskan yang lama dan memperoleh yang baru", tak peduli apakah itu tanaman di dalam bumi raya, atau tubuh manusia yang hidup berdampingan secara alamiah, semuanya pada saat itu menukar pencemaran yang diperoleh pada musim dingin/salju untuk menyambut suasana musim semi dan merealisasi perubahan dari *Yin *(unsur negatif) ke *Yang* (unsur positif).

Konon, sesudah Yu agung (Raja pada zaman Tiongkok kuno, abad ke-22 SM) menaklukkan sungai, maka orang-orang menggunakan kosa kata *Qing Ming *(di Indonesia terkenal dengan *Ceng Beng*) untuk merayakan bencana air bah yang telah berhasil dijinakkan dan kondisi negara yang aman tenteram.

Pada saat itu musim semi nan hangat bunga bermekaran, seluruh makhluk hidup bangkit, langit cerah bumi cemerlang, adalah musim yang baik untuk berkelana menginjak rerumputan (Ta Qing). Kebiasaan tersebut telah dimulai sejak dinasti Tang (618-907).

Saat *Ta Qing*, orang-orang selain dapat menikmati panorama indah musim semi, juga sering dilangsungkan beraneka kegiatan hiburan untuk menambah gairah kehidupan.


Legenda 2

Konon, jaman dahulu, terutama bagi orang-orang yang berduit dan berharta, nyekar itu tidak hanya diadakan sekali setahun, tapi bisa berkali-kali (dua kali sebulan bahkan). Dan acara ini dibuat penuh dengan kemewahan dan benar-benar mempertontonkan kekayaan. Kaum sanak keluarga ditandu ke sana lalu ke mari, diiringi dayang-dayang dan pengawal yang berjumlah banyak, makanan yang dibawa itu pasti yang enak-enak dan bunga yang disiapkan juga yang mahal dan harum-harum. 

Suatu hari, Kaisar Tang Xuanzong melihat semuanya ini seperti pemborosan massal saja. Dia pun menitahkan agar semua membatasi diri dan hanya mengadakan acara nyekar ini sekali setahun. Dan ia menetapkan hari Ceng Beng (lima belas hari setelah Chunhun, atau hari di mana matahari tiba di katulistiwa) sebagai hari baik untuk ini. Selain karena Ceng Beng adalah hari baik (arti kata Ceng Beng, atau Qing Ming, adalah “cerah dan terang”), hari ini dipilih karena banyak petani sudah selesai panen dan punya waktu senggang untuk mengunjungi makam leluhur. Jadilah Ceng Beng bukan hanya kegiatan orang kaya, tapi kegiatan untuk semua orang.


Legenda 3

Kesederhanaan Ceng Beng juga berkaitan erat dengan cerita Kaisar Cong Er dari Dinasti Tang. Seperti kisah Cina kuno lainnya, latar belakangnya adalah kudeta. Pada masa pelarian (karena berselisih dengan selir kejam) ketika masih jadi putra mahkota Cong Er ini ditemani oleh teman (dan bawahan) yang sangat setia, Jie Zhitui namanya. Saking setianya, dia rela untuk mengorbankan dagingnya supaya si pangeran ini bisa makan dan nggak mati kelaparan. Suatu hari, tiba kabar bahwa Cong Er sudah tidak perlu lari lagi, karena ibu tirinya sudah mati. Bersiaplah Cong Er untuk kembali ke istana dan jadi kaisar. Tapi Je Zhitui menolak untuk ikut balik ke istana, dan menyepi ke sebuah gunung bersama Ibunya.

Cong Er yang sudah jadi kaisar itu tetep kukuh meminta temannya balik dan hidup bahagia di istana. tapi Jie Zhitui bukannya balik ke istana malah semakin bersembunyi ke pedalaman gunung. Cong Er yang sudah habis akal menyuruh prajuritnya untuk membakar gunung, dengan maksud supaya Jie Zhitui keluar dari persembunyian. Tetapi, yang terjadi bukannya keluar, malah Jie Zhitui dan Ibunya tewas terbakar. 

Sedihlah sang kaisar. Lalu ia mencanangkan Hari Hanshi (Hari Makanan Dingin), satu hari dalam setahun (setiap tahunnya) di mana orang-orang tidak boleh memasak/memanaskan makanan dengan api. Lambat laun Hanshi pun diintegrasikan ke dalam perayaan Ceng Beng, di mana makanan yang disediakan itu dingin dan hambar.


Legenda 4

Cerita legenda yang lain menyebutkan tentang seorang Raja yang sudah bertahun-tahun pergi berperang (jaman perang antar kerajaan di Cina dulu), namun berakhir dengan kekalahan dan menjadi tawanan perang yang tidak terhormat di negeri lawan. Tapi raja ini tidak tinggal diam dan diam-diam mengumpulkan sekutu untuk mempersiapkan serangan balas dendam. Singkat cerita raja ini berhasil melakukan balas dendam dan negaranya pun kembali ke dalam tangannya.

Sewaktu ia kembali ke rumah, dia baru tahu kalau orang tuanya sudah lama meninggal — dibunuh oleh raja musuh. Dan parahnya lagi tidak ada yang tau di mana orang tua sang raja dimakamkan. Sang Raja akhirnya punya akal dan mencanangkan hari kunjungan makam leluhur. Pada hari yang telah ditentukan, semua orang di negaranya harus dan wajib nyekar. Logikanya, makam yang sepi dan nelangsa, pastilah makam orang tuanya. Sejak hari itulah, setiap tahun semua wajib nyekar ke makam leluhur.

Secara Awam, masih banyak yang belum jelas bahwa sebenarnya mengapa Ceng Beng itu selalu jatuh pada 5 April setiap tahunnya, dan bukannya mengikuti penanggalan kalender Imlek. Dalam tradisi Tionghoa, ada 2 penanggalan yang menggunakan penanggalan masehi. Yakni Ceng Beng dan Tang Che/Festival musim dingin.

Kelihatannya, kalender Tionghoa itu kalender bulan, tidak begitu halnya, karena ada faktor peredaran matahari di dalamnya, yaitu 24 posisi matahari. 1 posisi matahari adalah berjangka waktu 15 hari, ada 2 posisi matahari dalam 1 bulan. Posisi ini telah ada sejak zaman Huangdi (2697 SM, 4700 tahun lalu) didasarkan atas 12 cabang bumi yang diciptakan olehnya.

Penanggalan Tionghoa sendiri memperhitungkan peredaran matahari karena Tiongkok sejak dulu adalah negara agrikultur, mayoritas penduduk Tiongkok adalah petani dan petani harus menanam sesuai musim. Musim bergantung pada peredaran matahari, sehingga posisi matahari ditambahkan dalam kalender Tionghoa.

Adapun posisi penting peredaran matahari dalam kelender Tionghoa adalah :

1. Lipchun (mulai musim semi), tanggal 5 Februari
2. Chunhun (tengah musim semi), tanggal 21 Maret (matahari berada di khatulistiwa)
3. Ceng Beng (cerah dan terang), tanggal 5 April
4. Heche (tengah musim panas), tanggal 21 Juni (saat ini matahari berada pada 23.5 LU, siang terpanjang di belahan bumi utara/Tiongkok)
5. Chiuhun (tengah musim gugur), tanggal 23 September (matahari berada di khatulistiwa)
6 Tangche (tengah musim dingin), tanggal 22 Desember (saat ini matahari berada di 23.5 LS, malam terpanjang di belahan bumi utara/Tiongkok).

Dari 24 posisi matahari ini, maka Ceng Beng dan Tangche dijadikan festival penting dalam kebudayaan Tionghoa.


Kegiatan yang dilakukan berkaitan dengan Ceng Beng

Pada jaman dinasti Tang, implementasi hari Ceng Beng hampir sama dengan kegiatan sekarang, misalnya seperti membakar uang-uangan, menggantung lembaran kertas pada pohon Liu, sembayang dan membersihkan kuburan. Yang hilang pada saat ini adalah menggantung lembaran kertas, yang sebagai gantinya lembaran kertas itu ditaruh di atas kuburan. 

Kebiasaan lainnya adalah bermain layang-layang, makan telur, melukis telur dan mengukir kulit telur. Permainan layang-layang dilakukan pada saat Ceng Beng karena selain cuaca yang cerah dan langit yang terang,kondisi angin sangat ideal untuk bermain layang-layang. 

Konon, ada orang setelah layang-layang berkibar di langit biru, memutus talinya, mengandalkan angin mengantarnya ke tempat nan jauh, konon ini bisa menghapus penyakit dan melenyapkan bencana serta mendatangkan nasib baik bagi diri sendiri.

Kebiasaan berikutnya adalah menancapkan pohon *Willow*: konon, kebiasaan menancapkan dahan *willow*(pohon Yangliu), juga demi memperingati *Shen Nong Shi*, yang dianggap sebagai guru leluhur pertanian dan pengobatan. Di sebagian tempat, orang-orang menancapkan dahan* willow *di bawah teritisan rumah, untuk meramalkan cuaca. Sesuai pameo kuno "Kalau dahan *willow* hijau, hujan rintik-rintik; kalau dahan *willow* kering, cuaca cerah". *Willow* memiliki daya hidup sangat kuat, dahannya cukup ditancapkan langsung hidup, setiap tahun menancapkan dahan willow, dimana-mana rimbun.

Sedangkan sejarah pohon Liu dihubungkan dengan Jie Zitui, karena Jie Zitui tewas terbakar di bawah pohon liu.

Kebiasaan lain adalah bermain ayunan *Qiu Qian*: ini adalah adat kebiasaan hari *Ceng Beng* zaman kuno. Sejarahnya panjang, ayunan pada zaman dulu kebanyakan menggunakan dahan sebagai rangka kemudian ditambatkan selendang atau tali.

Akhir-nya berkembang menjadi 2 utas tali ditambah papan kayu sebagai pijakan kaki yang dipasang pada rangka balok kayu yang hingga kini digemari, terutama oleh anak-anak seluruh dunia.

Selain itu ada kebiasaan bermain *Cu Ju* (sepak bola kuno): *Ju* adalah semacam bola yang terbuat dari kulit, di dalam bola tersebut diisi bulu hingga padat. *Cu Ju *menggunakan kaki untuk menyepak bola (Mirip sepak bola saat ini). Ini adalah semacam permainan yang digemari oleh orang-orang pada saat *Ceng Beng *pada zaman kuno. Konon ditemukan oleh *Huang Di *(kaisar Kuning), pada awalnya bertujuan untuk melatih kebugaran para serdadu.

Ada juga kebiasaan untuk Menanam pohon: sebelum dan sesudah *Ceng Beng*, matahari musim semi menyinari, hujan rintik musim semi betebaran, menanam tunas pohon berpeluang hidup tinggi dan dapat tumbuh dengan cepat. Maka, semenjak zaman kuno, di Tiongkok terdapat kebiasaan menanam pohon di kala *Ceng Beng*. Ada orang menyebut hari *Ceng Beng* sebagai "hari raya penanaman pohon". Kebiasaan ini berlangsung hingga hari ini.

Pada dinasti Song (960-1279) dimulai kebiasaan menggantungkan gambar burung walet yang terbuat tepung dan buah pohon liu di depan pintu. Gambar ini disebut burung walet Zitui. Kebiasaan orang-orang Tionghoa yang menaruh untaian kertas panjang di kuburan dan menaruh kertas di atas batu nisan itu dimulai sejak dinasti Ming.

Menurut cerita rakyat yang beredar, kebiasaan seperti itu atas suruhan Zhu Yuanzhang, kaisar pendiri dinasti Ming,untuk mencari kuburan ayahnya. Dikarenakan tidak tahu letaknya, ia menyuruh seluruh rakyat untuk menaruh kertas di batu nisan leluhurnya. Rakyat pun mematuhi perintah tersebut, lalu ia mencari kuburan ayahnya yang batu nisannya tidak ada kertas dan ia menemukannya. (Dalam kisah ini agak berkaitan dengan Legenda 4 diatas. Namun karena ditemukan pada literatur yang berbeda, penyusun tidak berani mengambil kesimpulan sendiri. Mohon bagi yang lebih paham ceritanya memberikan masukan).

Seperti perayaan lainnya, Ceng Ceng juga memiliki makanan khas seperti makan telur yang kulitnya sudah dilukis, tapi untuk telur yang diukir tidak dimakan. Selain itu ada beberapa yang mungkin tidak pernah ada di Indonesia ini seperti makanan dari daun Ai yang menjadi ciri khas suku Khe, bubur dingin, ciri khas rakyat dibawah kaki gunung Mian, serta Qing tuan adalah makanan khas Qingming dari daerah Suzhou.

Pesan Moral Perayaan Ceng Beng :

Festival Ceng Beng pada akhirnya terkait dengan pilar-pilar budaya Tionghoa yaitu penghormatan leluhur, makanan, kekerabatan, keselarasan dan harmony, setia, berbakti, dan juga kebersamaan. Dan hal itu tidak hanya ada pada festival Ceng Beng saja tapi tercermin pada semua festival Tionghoa yang ada.

Dengan menghormati leluhur berarti kita harus menjaga sikap hidup kita agar tidak mencoreng nama leluhur. Semoga pada perayaan festival Ceng Beng ini kita menyadari bagaimana cara kita menghormati leluhur, caranya sederhana yaitu berikanlah kontribusi positif pada lingkungan kita dan selalulah menjaga perilaku kita agar tidak memalukan para leluhur.


Sumber Penulisan:
1. Berdasarkan cerita turun temurun Masyarakat Tionghoa Indonesia.
2. http://www.hoktekbio.com/index.php?option=com_content&view=article&id=62:qing-ming-ceng-beng&catid=27:ritual-a-budaya&Itemid=72
3. http://www.wihara.com/forum/artikel-buddhist/6742-cengbeng.html
4. http://www.chinapage.com/festival/qingming.html
5. TRADITIONAL CHINESE CULTURE by Qizhi Zhang.
6. The Legend of the Kite: A Story of China(Make Friends Around the World)by Kuiming Ha, Yiqi Ha. Published by Soundprints 
7. http://www.indoforum.org/archive/index.php/t-41419.html
8. http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/42410
9. Dong Zhou Lie Guo Zhi (東周列國志), Feng, Menglong, 1574-1646, 2008.(pertama terbit 1752, Shanghai shu ju)
10. Buletin Maya Indonesia Dharma Mangala, 9 Maret 2004, tahun I, no 7
11. http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/42410

Sejarah dan Budaya Tangerang "Tempo Doeloe"

Sejarah Dan Budaya Tangerang” Tempo Doeloe” Tangerang merupakan kota yang sangat strategis yang dekat dengan Jakarta, sejarah Tangerang, yang tidak bisa dilepaskan dari empat hal utama yang saling terkait. Keempat hal itu adalah peranan Sungai Cisadane; lokasi Tangerang di tapal batas antara Banten dan Jakarta; status bagian terbesar daerah Tangerang sebagai tanah partikelir dalam jangka waktu lama dan bertemunya beberapa etnis dan budaya dalam masyarakat Tangerang. Sungai Cisadane membujur dari selatan didaerah pegunungan ke utara di daerah pesisir. Sungai ini amat berperan penting dalam kehidupan masyarakat di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) hingga dewasa ini. Yang berubah hanyalah jenis peranannya. Sejak zaman kerajaan Tarumanegara (abad ke-15) hinggga awal zaman Hindia Belanda (awal abad ke-19), sungai ini berperan sebagai sarana lalu lintas air yang menghubungkan daerah pedalaman dengan daerah pesisir. Disamping itu, sungai Cisadane juga menjadi sumber penghidupan manusia yang bermukim di sepanjang DAS ini. Antara lain untuk mengairi areal persawahan dan perikanan di daerah dataran rendah bagian utara Tangerang. Sejarah Tempo Dulu
1. Bendungan Pintu Sepuluh TAK jauh dari lokasi Masjid Pintu 1000, terdapat Bendungan Pasar Baru Irigasi Cisadane. Bendungan ini lebih dikenal “Pintu Air Sepuluh”. Sesuai namanya bendung ini memiliki 10 pintu air, masing-masing selebar 10 meter.
2. Jaringan drainase SISTEM jaringan drainase di Kota Tangerang dibagi menjadi dua, yaitu sistem drainase makro/drainase alam, yaitu sungai dan anak-anak sungai yang berfungsi sebagai badan air penerima. Sistem drainase mikro meliputi saluran primer, sekunder, dan tersier dengan total panjang saluran sekitar 192.763 meter
3. Kelenteng Boen San Bio TEMPAT ibadah kelenteng sudah ada di Indonesia sejak 400 tahun sang lalu. Tempat ibadah ini merupakan tempat ibadah tiga agama etnis Tionghoa, yaitu Budha, Khonghucu, dan Tao. Akan tetapi, dalam praktiknya tidak pernah ada fanatisme terhadap salah satu dari tiga agama tersebut. Dengan kata lain, dalam prakteknya ketiga agama tersebut dilakukan bersamaan.
4. Rumah Tua Kapitan Tionghoa RUMAH tua ini sudah berusia lebih kurang 400 tahun. Konon rumah berhantu itu bekas rumah tuan tanah, seorang Kapten Tionghoa (Kapitein der Chineezen) di zaman Belanda. Pangkat kapten dan letnan diberikan Kompeni (pemerintah Belanda) kala itu hanya kepada seseorang dari keluarga terkaya di daerah tertentu dengan kewenangan mengatur secara administratif daerah tersebut. Tugasnya kira-kira sepadan dengan lurah sekarang. Di PeChinan, pengaturan daerah secara admistratif dilakukan oleh sebuah Dewan Tionghoa (Kong Koan) yang beranggotakan kapitein dan letnan. Sejak 1837 dewan ini diketuai seorang mayor yang dibantu kapitein dan letnan. Hanya tiga kota besar yaitu Batavia, Semarang, dan Surabaya yang memiliki Mayor Tionghoa dan mengetuai Kong Koan. Kong Koan berwenang menyelesaikan perkara kecil di antara orang Tionghoa tapi atas nama pemerintah Hindia Belanda dan menyerahkan perkara besar kepada pemerintah
Budaya Tangerang Tempo Dulu
1. Gambang Kromong Kesenian tempo dulu unsur pribumi dengan unsur China dalam dunia musik Betawi, dapat kita lihat dalam orkes gambang kromong, yang tampak pada alat-alat musiknya. Sebagian alat seperti gambang, keromong, kemor, kecrek, gendang, kempul, slukat, gong enam dan gong kecil adalah unsur pribumi, sedangkan sebagian lagi berupa alat musik gesek China yakni kongahyan, tehyan, dan skong. Dalam lagu-lagu yang biasa dibawakan orkes tersebut, rupanya bukan saja terjadi pengadaptasian, bahkan pula pengadopsian lagu-lagu China yang disebut pobin, seperti pobin mano Kongjilok, Bankinhiva, Posilitan, Caicusiu dan sebagainya. Biasanya disajikan secara instrumental. Terbentuknya orkes gambang kromong tidak dapat dilepaskan dari Nie Hu-kong, seorang pemimpin golongan China
2. Peh Chun Nonton Peh Cun di Ka1i Tangerang Sane-sini aeh rame bukan kepalang Bang Mamat dan Mpok Mide ampe lupe pulang… LANTUNAN suara Ida Royani yang diiringi Orkes Gambang Kromong Naga Mustika barusan, mungkin akrab bagi pendengarnya di tahun 70-an. Ketika itu sejumlah radio swasta kerap memutar lagu berjudul “Nonton Peh Cun” ini atas permintaan pendengar. Repertoire lagu berirama gambang kromong seperti ini, sekarang tak pernah lagi diperdengarkan dalam ruang publik kita. Boleh jadi, lantaran kalah pamor dengan genre musik masa kini. Makanya, di kalangan orang Betawi sendiri paling banter hanya orang yang lebih tua yang dapat menceritakan nostalgia meriah pesta Peh Chun seperti yang digambarkan dalam syair lagu gambang kromong tadi. Pesta Peh Chun adalah untuk memperingati l00 hari tahun baru China (Imlek). Tahun Baru Imlek atau yang disebut Sin Tjia oleh masyarakat keturunan China yang berbahasa Hokkian, bermula dari ungkapan rasa gembira para petani di Tiongkok zaman dahulu kala untuk menyambut musim semi (Chun), yaitu saat mereka dapat kembali bekerja kembali di sawah.
3. Tari Cokek TARI cokek adalah tarian khas Tangerang, yang diwarnai budaya etnik China. Tarian ini diiringi orkes gambang kromong ala Betawi dengan penari mengenakan kebaya yang disebut cokek. Tarian Cokek mirip sintren dari Cirebon atau sejenis ronggeng di Jawa Tengah. Tarian ini kerap identik dengan keerotisan penari, yang dianggap tabu oleh sebagian masyarakat lantaran dalam peragaannya, pria dan wanita menari berpasangan dalam posisi berdempet-dempetan. Cokek sendiri merupakan tradisi lokal masyarakat Betawi dan China Benteng, yaitu kelompok etnis China yang nyaris dipinggirkan, dan kini banyak bermukim di Tangerang
4. Tradisi Perkawinan Chiou-Thaou ACARA pernikahan chio-thou diselenggarakan dalam tradisi kuno masyarakat China Benteng. Tradisi per-kawinan chio-thau juga dilakukan oleh warga Tionghoa di Padang dan sekitarnya. Chiou-thau adalah istilah umum bagi suatu upacara pernikahan yang unik dan langka. Secara harfiah, chiou-thau berarti “mendandani rambut” – sebuah ritual pelintasan (rite of passage) yang harus dilaksanakan sebagai pemurnian dan inisiasi memasuki masa dewasa. Upacara ini sangat sakral dan hanya boleh dilakukan sekali seumur hidup sesaat menjelang pernikahan. Seorang duda atau janda yang menikah lagi tidak diperkenankan rnelakukan ritual ini untuk kedua kalinya. Dalam tafsir lain, mereka yang belum menjalani chiou-thau dianggap masih anak-anak
5. Makan 12 mangkuk ACARA selanjutnya adalah bersantap dengan 12 jenis lauk yang masing-masing diletakkan dalam mangkuk porselin. Pengantin wanita didampingi dua orang saudara laki-laki yang belum menikah dan sebaiknya dari shio naga dan macan. Makanan dalam 12 mangkuk itu melambangkan kesinambungan rezeki dalam tiap-tiap bulan selama setahun. Rasa masakan juga berbeda-beda: asin, manis, pahit, tawar, pedas, gurih, berlemak – untuk menyiapkan pengantin bahwa tidak selamanya mereka menghadapi kondisi menyenangkan sepanjang usia pernikahan mereka.
6. Taburan Beras Kuning PENGANTIN laki-laki kemudian pergi menjemput pengantin perempuan di rumahnya. Di masa lalu, ini dilakukan dengan naik tandu. Tetapi, sekarang dilakukan dengan naik mobil. Kedatangan kedua mempelai di rumah pengantin laki-laki disambut dengan gemuruh bunyi petasan. Tradisi ini tampaknya ditiru dalam tradisi pengantin Betawi. Anehnya, ada juga acara tabur beras kuning dan uang logam yang sangat mirip dengan acara pernikahan di berbagai adat Nusantara. Ini sekaligus menunjukkan masuknya adat Sunda ke dalam tradisi chiou-thau.
7. Musik Tanjidor Salah satu bentuk musik rakyat Betawi, tampak jelas pada orkes Tanjidor, yang biasa menggunakan klarinet, trombon, piston, trompet dan sebagainya. Alat-alat musik tiup yang sudah berumur lebih dari satu abad masih banyak digunakan oleh grup-grup Tanjidor. Mungkin bekas alat-alat musik militer pada masa jayanya penguasa kolonial tempo doeloe. Dengan alat-alat setua itu, Tanjidor biasa digunakan untuk mengiringi perhelatan atau arak-arakan pengantin. Membawakan lagu-lagu barat berirama ‘mars’ dan [Waltz] yang susah sulit dilacak asal-usulnya, karena telah disesuaikan dengan selera dan kemampuan ingatan panjaknya dari generasi ke generasi. Orkes Tanjidor mulai timbul pada abad ke 18. VaIckenier, salah seorang Gubernur Jenderal Belanda pada jaman itu tercatat memiliki sebuah rombongan yang terdiri dari 15 orang pemain alat musik tiup, digabungkan dengan pemain gamelan, pesuling China dan penabuh tambur Turki, untuk memeriahkan berbagai pesta.
 
Copyright © 2014. BukaBaju Template - Design: Gusti Adnyana